Masa pemerintahan Soeharto yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun (1967–1998) merupakan periode penting dalam sejarah Indonesia. Selama masa kepemimpinannya, Indonesia mengalami transformasi ekonomi yang signifikan, dari negara yang hampir hancur akibat ketidakstabilan politik dan ekonomi, menjadi negara dengan ekonomi yang tumbuh pesat di Asia. Soeharto mengimplementasikan berbagai kebijakan yang berfokus pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan pemerataan, meskipun ada pula sejumlah tantangan dan kritik terhadap kebijakan-kebijakannya. Artikel ini akan membahas transformasi ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto, dari krisis pasca-kemerdekaan hingga pencapaian pembangunan yang besar.
1. Latar Belakang Ekonomi Indonesia Sebelum Soeharto
Sebelum Soeharto mengambil alih kekuasaan pada tahun 1967, Indonesia menghadapi kondisi ekonomi yang sangat buruk. Pemerintahan Sukarno yang berakhir pada tahun 1965 meninggalkan negara dalam situasi krisis. Negara dilanda inflasi yang sangat tinggi, ketidakstabilan politik, dan kerusakan ekonomi akibat konfrontasi dengan negara-negara tetangga serta pemberontakan domestik. Indonesia mengalami defisit anggaran yang besar, devaluasi mata uang yang drastis, dan kemiskinan yang merajalela.
Perekonomian Indonesia yang pada masa Sukarno sangat bergantung pada sektor pertanian, terhambat oleh kebijakan ekonomi yang tidak terorganisir. Banyak sektor industri yang masih kurang berkembang dan kapasitas produksi domestik sangat terbatas. Oleh karena itu, Soeharto yang mulai berkuasa melalui Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) di tahun 1966, menghadapi tantangan besar untuk memulihkan ekonomi Indonesia.
2. Kebijakan Ekonomi Orde Baru: Stabilitas dan Pembukaan Perekonomian
Soeharto menyadari bahwa stabilitas politik dan ekonomi adalah kunci untuk pembangunan. Oleh karena itu, langkah pertama yang diambilnya adalah menciptakan stabilitas politik dengan mengonsolidasikan kekuasaan dan meredakan ketegangan politik yang ada. Soeharto berhasil menyatukan berbagai kelompok politik dan militer, serta meredakan ancaman dari kelompok kiri yang dianggap dapat menggoyahkan kekuasaannya.
Setelah stabilitas tercapai, Soeharto mulai menerapkan kebijakan ekonomi yang berfokus pada pembukaan perekonomian Indonesia, menarik investasi asing, dan memperkuat sektor industri. Pada awal pemerintahannya, Soeharto mengimplementasikan program yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Program ini bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan mempercepat industrialisasi melalui pembangunan infrastruktur, pertanian, dan sektor-sektor lainnya.
3. Transformasi Sektor Pertanian: Revolusi Hijau
Salah satu fokus utama Soeharto dalam pembangunan ekonomi adalah sektor pertanian. Indonesia sebagai negara agraris memerlukan peningkatan hasil pertanian untuk mendukung ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Pada tahun 1967, Soeharto mulai meluncurkan Revolusi Hijau, sebuah program yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan melalui penggunaan teknologi baru, seperti benih unggul, pupuk, dan teknologi irigasi.
Program Revolusi Hijau ini berhasil meningkatkan produksi pangan, terutama beras, sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada pangan pada akhir 1980-an. Keberhasilan ini mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor pangan dan memberikan kestabilan pangan di dalam negeri.
4. Industri dan Pembangunan Infrastruktur
Soeharto menyadari bahwa pembangunan industri adalah salah satu cara untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah mengalihkan sumber daya yang lebih besar untuk sektor industri dan manufaktur. Di bawah program Pelita, pemerintah memberikan dorongan bagi pembangunan sektor-sektor industri seperti tekstil, bahan kimia, makanan dan minuman, serta produk-produk berbasis sumber daya alam Indonesia, seperti minyak dan gas bumi.
Selain itu, Soeharto fokus pada pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dan bandara, yang berfungsi untuk mendukung mobilitas barang dan orang. Infrastruktur yang berkembang ini memungkinkan Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Proyek-proyek besar ini juga menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat dan meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia di tingkat global.
5. Peningkatan Sektor Ekspor dan Investasi Asing
Selama masa pemerintahan Soeharto, sektor ekspor Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan. Pada 1970-an, Indonesia memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya, seperti minyak bumi, gas alam, kelapa sawit, dan batu bara, untuk meningkatkan pendapatan negara. Negara ini mulai mengembangkan kebijakan untuk mendorong ekspor dan menarik investasi asing.
Soeharto membuka Indonesia untuk investasi asing melalui kebijakan yang lebih ramah bagi investor. Program Pusat Investasi dan Pengembangan Industri diatur untuk memberikan insentif kepada perusahaan asing agar mereka mau menanamkan modal di Indonesia. Hasilnya, banyak perusahaan multinasional yang mulai membuka cabang atau melakukan investasi besar di Indonesia pada tahun 1980-an dan 1990-an.
Selain itu, kebijakan ekonomi Soeharto mendukung pengembangan sektor pariwisata, yang mulai berkembang pesat pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Keberhasilan sektor pariwisata juga berkontribusi besar terhadap pendapatan negara, menciptakan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan citra Indonesia di kancah internasional.
6. Kritik dan Tantangan terhadap Kebijakan Ekonomi Soeharto
Meski berhasil membawa Indonesia menuju pertumbuhan ekonomi yang pesat, kebijakan ekonomi Soeharto tidak bebas dari kritik dan tantangan. Salah satu kritik utama adalah ketergantungan Indonesia pada ekspor sumber daya alam dan utang luar negeri. Kebijakan pembangunan yang sangat berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam menyebabkan ketergantungan yang tinggi pada harga komoditas dunia yang fluktuatif.
Selain itu, meskipun sektor industri dan ekonomi tumbuh pesat, ketimpangan sosial dan ekonomi tetap ada. Pembangunan yang lebih terkonsentrasi di Jawa menyebabkan ketimpangan antara wilayah barat dan timur Indonesia. Di banyak daerah, kemiskinan dan kesenjangan sosial masih menjadi masalah besar.
Di sisi lain, praktik korupsi yang terjadi di tingkat pemerintahan, terutama yang melibatkan keluarga dan kroni-kroni Soeharto, juga menciptakan distorsi dalam distribusi kekayaan dan memperburuk ketidakadilan sosial. Penyalahgunaan sumber daya negara dan pengelolaan yang tidak transparan memperburuk kondisi ekonomi negara pada akhirnya, dan menjadi salah satu faktor yang memperburuk krisis ekonomi pada 1997-1998.
7. Krisis Ekonomi 1997-1998 dan Kejatuhan Soeharto
Pada akhir 1990-an, Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang sangat parah. Krisis keuangan Asia yang dimulai pada tahun 1997 mengguncang perekonomian Indonesia, yang sangat bergantung pada investasi asing dan utang luar negeri. Nilai tukar rupiah jatuh drastis, inflasi meroket, dan tingkat pengangguran meningkat tajam.
Kebijakan ekonomi yang sebelumnya mendukung pertumbuhan pesat menjadi tidak berkelanjutan dalam situasi krisis. Korupsi yang merajalela dan ketergantungan pada utang luar negeri memperburuk dampak krisis. Akibatnya, pada tahun 1998, Soeharto terpaksa mengundurkan diri setelah tekanan dari berbagai pihak, baik dari dalam negeri maupun internasional.
8. Kesimpulan
Transformasi ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Soeharto adalah perjalanan panjang yang penuh dengan pencapaian dan tantangan. Pembangunan infrastruktur, revolusi hijau, industrialisasi, serta kebijakan yang membuka ekonomi Indonesia ke dunia luar, telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Namun, ketergantungan pada sumber daya alam, utang luar negeri, dan praktik korupsi yang berkembang seiring waktu, menjadi faktor penghambat yang menyebabkan ketidakberlanjutan ekonomi jangka panjang. Meskipun demikian, era Soeharto tetap menjadi salah satu periode penting dalam sejarah ekonomi Indonesia, yang memberikan banyak pelajaran untuk pengelolaan ekonomi di masa depan.
Baca Juga Artikel Berikut Di : Apotiklestari.Vip